Episode
2: Gadis Bernama Matahari
Ada dua
jenis orang di dunia ini.
Yang datang
seperti angin pelan, tidak mengganggu, dan sering tak disadari.
Dan yang datang seperti matahari hangat, terang, dan
mustahil tak kau lihat.
Lisa, adalah yang kedua.
Pagi itu aku duduk di bawah tangga perpustakaan. Tempat
favoritku yang lain. Tidak ada yang pernah duduk di sana karena posisinya aneh:
terlalu dekat dengan kaki-kaki yang lalu-lalang, terlalu jauh dari meja-meja
nyaman. Tapi aku suka sudut yang tidak dipilih orang lain. Seperti diriku.
“Chi-laaa!”
Suara itu meluncur cepat, riuh, dan sedikit nyaring. Suara
yang bisa kamu kenali bahkan sebelum kamu benar-benar terbangun dari tidur.
Lisa datang dengan rambut acak-acakan dan semangat
berlebihan. Di tangannya ada dua roti sobek yang sudah agak penyok.
“Gue tahu lo belum sarapan,” katanya sambil nyodorin roti.
Aku cuma ngangkat alis. Dia tahu aku bukan tipe yang
langsung bilang terima kasih. Tapi dia juga tahu aku akan makan rotinya.
“Apa kabar pagi ini?” tanyanya lagi, duduk tanpa diminta.
“Masih pagi, belum sempat rusak,” jawabku pendek.
Lisa tertawa. Dia nggak pernah baper dengan
jawaban-jawabanku yang tajam tapi malas bertele-tele.
Kadang aku heran kenapa dia betah di sekitarku.
Aku bukan orang yang manis. Tidak pernah berusaha jadi pusat
perhatian. Tapi Lisa tetap datang, hari demi hari, seolah-olah aku adalah rumah
yang selalu bisa ia masuki kapan saja.
“Kemarin lo duduk sama Romi ya?” tanyanya sambil membuka
bungkus rotinya.
Aku hanya menoleh.
“Kenapa nggak pernah lo ajak ngobrol, sih? Dia tuh kayak...
anak kucing yang pengen main tapi takut dicakar,” lanjutnya, sambil terkekeh.
Aku diam. Bukan karena tidak punya jawaban, tapi karena aku
tahu kalau aku mulai menjelaskan, aku bisa kebablasan.
Lisa menggigit rotinya, lalu menatapku sambil berkata pelan,
“Kadang lo kayak buku puisi tanpa judul. Indah, tapi bikin penasaran halaman
berapa yang bikin nangis.”
Aku tidak menjawab. Tapi dalam hati, aku menggarisbawahi
kalimat itu.
Lisa tidak tahu aku bukan tidak ingin dibaca.
Aku hanya takut ketika orang membaca terlalu jauh, mereka
akan menyesal menemukan isinya.
Hari itu kami berjalan menuju kelas bersama. Lisa cerita
tentang cowok yang lagi dia taksir, tentang drama kampus yang lagi panas, dan
tentang dirinya yang “katanya sih pengen belajar serius semester ini.”
Aku mendengar, seperti biasa. Tidak semua cerita harus
dibalas dengan cerita. Kadang cukup dengan kehadiran yang tidak pergi.
Saat kami berpisah di koridor, Lisa sempat berhenti dan
berkata, “Chil, lo tahu nggak? Walau lo kelihatan nggak peduli, tapi gue
rasa... lo salah satu orang yang paling perhatian yang pernah gue temui. Lo
cuma nggak suka menunjukkannya.”
Aku pura-pura nggak dengar, lalu jalan lebih cepat.
Karena Lisa benar. Dan aku benci saat seseorang bisa melihat
terlalu dalam.
Hari itu, aku menulis satu kalimat baru di halaman belakang
bukuku:
"Matahari tidak pernah meminta untuk diingat tapi
cahayanya tinggal di kulit kita jauh setelah ia pergi."
Dan mungkin… Lisa adalah matahari itu.
“Cerita chila Dimiliki Tanpa Hilang episode 3”
🌙 Segera Hadir...
ConversionConversion EmoticonEmoticon