Isyarat Yang Terlewat" (Sudut Pandang Risa )
Risa mulai merasakan jarak yang perlahan tumbuh antara dirinya dan Doni, meski mereka masih sering berkomunikasi. Hari-hari yang dulu penuh canda dan telepon sampai tertidur, kini terasa hambar. Doni mulai sering menyebut nama Shifa, adik kelas mereka yang kini dekat dengannya di kampus.
Risa mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya lewat senyuman dan perhatian kecil—seperti komentar di postingan, atau pesan-pesan singkat yang tak terlalu terlihat sebagai bentuk rasa suka. Tapi hatinya diam-diam merasakan nyeri saat melihat foto Doni dan Shifa bersama di acara kampus, di layar laptopnya sendiri.
Dia bertanya-tanya:
“Apa semua kodeku memang terlalu halus?”
“Apa dia benar-benar tidak pernah tahu... atau pura-pura tidak tahu?”
Risa mulai menyadari: perasaan yang ia jaga rapat-rapat selama ini mungkin memang tak pernah sampai. Doni tetap baik-baik saja, seperti dulu. Tapi kini, kebaikan itu terasa jauh... karena hatinya mungkin sudah bukan untuk Risa lagi.
Bagian 3 – Yang Tidak Pernah Kita Ucapkan
(Sudut Pandang Risa)
Setelah malam itu, segalanya berubah. Tidak drastis. Tidak
tiba-tiba. Tapi perlahan-lahan, seperti hujan yang turun diam-diam, membasahi
tanah yang sudah lama retak.
Doni tak lagi sering menghubungi. Mungkin karena dia merasa
sudah membongkar sesuatu yang seharusnya tetap tersembunyi. Atau mungkin karena
dia sadar bahwa dalam diamku malam itu, ada kebenaran yang tak terucapkan, yang
akhirnya membuat semuanya terlalu rumit untuk tetap disebut “teman”.
Sementara aku... masih menanti. Masih berharap. Masih ingin
percaya bahwa cerita kita belum selesai. Bahwa mungkin, dia akan kembali. Bahwa
mungkin, saya masih bisa menyampaikan semua yang belum sempat kukatakan.
Dira pernah berkata, “Kalau kamu terus menyimpan sendiri,
sampai kapanpun dia tidak akan tahu. Kamu bukan tokoh utama dalam hidupnya,
Ris, kalau kamu terus cuma ngasih sinyal tapi tidak pernah menyalakan lampu.”
Aku tertawa kecil saat itu. Tapi di dalam hati, aku tahu
Dira benar.
Jadi malam itu, aku menulis.
Aku menulis pesan panjang. Tentang semua rasa yang tak
sempat kusuarakan. Tentang semua kode yang gagal kamu baca. Tentang betapa aku
sebenarnya bahkan sejak pertama kali kita berjalan menunggu berdua pulang dari
rapat organisasi di lantai dua aula sekolah.
Pesan tidak terkirim.
Aku hanya menyimpannya di folder "Draft".
Entah kenapa, tetap saja aku takut. Takut kehilangan kamu
sepenuhnya. Takut kamu merasa bersalah. Takut semuanya jadi canggung dan
menjauh.
Karena bagaimanapun juga… memilikimu sebagai teman yang
paling dekat masih lebih baik daripada kehilanganmu sepenuhnya.
Beberapa minggu kemudian, saya melihat foto itu. Di
Instagram. Kamu dan Shifa. Bersama di sebuah acara kampus. Wajah kalian cerah.
Matamu memandang dengan hangat pandangan yang dulu aku kira hanya milikku.
Aku menatap layar cukup lama. Lalu aku membuka folder draft
di ponselku. Membaca ulang pesan yang belum pernah terkirim itu. Kalimat
terakhirnya berbunyi:
"Kalau nanti kamu akhirnya memilih seseorang, semoga
dia bisa melihat semua sisi terbaikmu seperti aku melihatmu. Dan kalau suatu
hari kamu membaca ini, tahu saja aku pernah menunggumu. Diam-diam. Lama
sekali."
Dan malam itu, untuk pertama kalinya, aku menangis tanpa
menahan diri. Bukan karena cemburu. Tapi karena kecewa… pada diriku sendiri.
Yang terlalu banyak berharap, tapi terlalu sedikit bertindak.
Pagi harinya, aku membuka Instagram lagi. Kulihat unggahan
Doni terbaru:
"Untuk seseorang yang pernah begitu dekat, terima kasih
telah menemani banyak hariku. Maaf jika aku tidak pernah cukup peka. Tapi
tahukah kamu? Aku sebenarnya ingin memilihmu. Hanya saja, aku terlalu
takut."
Tanpa nama. Tanpa penanda.
Tapi aku tahu, itu untukku.
Dan meski semuanya sudah terlambat, setidaknya kini aku tahu
bahwa aku tidak berjuang sendiri.
“Isyarat yang Terlewat – Bagian 4”
🌙 Segera Hadir...
ConversionConversion EmoticonEmoticon