Isyarat Yang Terlewat
“Pernah nggak sih…kamu merasa paling rindu, justru pada orang yang paling sering kamu temui?”
“Tapi aku tetap diam.Bukan karena nggak ingin bilang, tapi karena aku takut kehilangan…meski nggak pernah benar-benar punya.”
Bagian 2
– Antara Rasa dan Realita
(Sudut Pandang Risa)
Pandemi membawa kita ke dunia yang sunyi. Tidak ada
perpisahan sekolah. Tidak ada acara wisuda. Tidak ada foto bersama yang bisa
kusimpan sebagai kenangan terakhir bersama kalian. Hanya layar laptop dan suara
dari speaker yang terdengar datar. Bahkan kata-kata “selamat” terdengar lebih
seperti salam perpisahan yang belum sempat dirayakan.
Setelah itu, kita semua mulai sibuk dengan dunia
masing-masing.
Aku mulai bekerja paruh waktu di toko buku dekat rumah. Dira
kuliah sambil-bantu usaha orang tua.
Rifki bikin konten YouTube bersama teman-temannya. Dan Doni…
Doni mulai sering cerita soal Shifa.
“Shifa tuh keren banget, Ris. Dia bantuin adik kelas nyiapin
lomba IT walaupun udah lulus. Aku beberapa kali bantuin juga, sekalian
ngebimbing…”
Aku hanya bisa mengetik: “Wah, keren ya.”
Padahal hatiku seperti dicekik pelan-pelan.
Percakapan kita semakin jarang. Tidak setiap malam lagi.
Tidak lagi ketiduran sambil teleponan. Tidak lagi saling kirim voice note
panjang yang berisi keluh kesah hari itu. Sekarang, kamu lebih sering bercerita
tentang dia—tentang tawa dan semangatnya. Tentang bagaimana dia mengingatkanmu
pada masa-masa ketika kita masih aktif di organisasi.
Sakit? Tentu saja. Tapi aku tidak punya hak untuk protes.
Aku tidak pernah mengungkapkan apa-apa. Aku hanya memberi kode. Memberi
tanda-tanda. Memberi perhatian. Tapi tidak pernah menyuarakan isi hatiku dengan
jelas.
Dan kamu, seperti yang selalu kulihat dari awal, terlalu
baik untuk menolak dengan kasar… tapi terlalu hati-hati untuk menangkap
gambaran yang samar.
Suatu malam, aku duduk di beranda rumah. Menggenggam ponsel
yang layarnya kosong. Tak ada pesan masuk darimu hari ini. Sudah seminggu,
bahkan. Biasanya, jika kamu tidak menghubungi aku duluan, aku akan mulai lebih
dulu. Tapi kali ini… aku mencoba berhenti.
Lalu, suara notifikasi masuk.
Doni 🟢: “Ris, kamu lagi
sibuk?”
Jantungku berdetak. Secepat hari pertama kamu bilang ingin
ngobrol empat mata waktu itu.
Risa: “Nggak, kenapa?”
Doni: “Boleh telepon bentar? Butuh cerita.”
Telepon itu berlangsung lebih dari satu jam. Suaramu
terdengar ragu, gelisah. Kamu cerita tentang Shifa. Tentang bagaimana kamu
merasa nyaman bersamanya. Tapi di akhir kalimatmu, ada jeda yang panjang.
“Tapi entah kenapa, setiap aku mau memulai sesuatu sama Shifa, aku selalu keinget kamu…”
Aku diam. Mataku mulai berkaca-kaca.
"Ris, kita dulu terlalu dekat ya? Tapi aku takut, kalau
aku ngomong jujur waktu itu, semuanya bakal rusak..."
Hatiku menolak.
"Kamu tahu, aku suka kamu duluan. Tapi aku takut nggak
pantas buat kamu. Aku pikir… kalau aku bisa jaga jarak, kita tetap bisa
sahabatan tanpa ada yang sakit hati. Tapi ternyata… kamu tetap terluka
ya?"
Aku tidak menjawab. Karena suaraku tercekat. Karena tangisku
akhirnya pecah tanpa bisa ditahan.
Malam itu aku sadar.
Kita sama-sama menyimpan rasa. Tapi kita juga sama-sama
takut.
Dan sekarang… mungkin semuanya sudah terlambat.
“Isyarat yang Terlewat – Bagian 3”
🌙 Segera Hadir...
ConversionConversion EmoticonEmoticon