Cerpen Terbaru " Isyarat Yang Terlewat" (Sudut Pandang Risa ) _ Bagian 1 – Dekat Tapi Tak Pernah Benar-Benar Dimiliki

    

                                              Isyarat Yang Terlewat

"Beberapa rasa memang tidak tumbuh untuk dimiliki, hanya untuk dipahami dari jauh—dalam diam."

Hujan turun sejak siang tadi. Tidak cepat, tapi cukup untuk membuat orang-orang mempercepat langkah mereka. Risa duduk di halte kecil dekat gerbang sekolah. Hari ini, semua terasa lebih sepi dari biasanya. Atau mungkin hanya karena Doni tak datang seperti biasa, menyodorkan senyum lembut dan menyukai teh manis dingin kesukaannya.








Bagian 1 – Dekat Tapi Tak Pernah Benar-Benar Dimiliki
(Sudut Pandang Risa)

Aku lupa sejak kapan semuanya mulai terasa berbeda. Mungkin sejak kita mulai bertukar sapa setiap pagi. Atau sejak kau mulai menungguku sepulang rapat OSIS. Atau mungkin, sejak kita terbiasa mengakhiri malam dengan saling mendengar napas masing-masing melalui sambungan telepon yang akhirnya berujung ketiduran.

Doni.

Namamu selalu terdengar biasa bagi orang lain. Tapi untukku, itu nama yang setiap hurufnya menghangatkan hari-hariku.

Kita dekat. Terlalu dekat untuk disebut hanya teman. Tapi terlalu samar untuk disebut lebih.

Orang-orang bilang, kita seperti pasangan. Selalu bareng. Selalu seirama. Selalu saling ada. Tapi yang tak mereka tahu adalah: aku mencintaimu diam-diam, sementara kamu… hanya menatapku sebagai seseorang yang tak boleh kamu miliki.

Dan itu menyakitkan.

Hari itu, kita duduk berdua di taman belakang sekolah. Angin sore membawa aroma rumput yang baru disiram. Aku menyodorkan roti isi yang kubuat sendiri.

“Cuma buat kamu,” kataku sambil pura-pura menatap langit.

“Wah, spesial banget,” sahutmu dengan senyum yang selalu berhasil meruntuhkan pertahananku. “Kamu pasti bakal jadi istri idaman, Ris.”

Aku hanya tertawa kecil. Padahal aku ingin bilang, “Kalau gitu, pilih aku.”

Tapi aku tidak pernah cukup berani.

Setiap rasa yang tumbuh, kusembunyikan dalam bentuk isyarat. Dari caraku memandangmu lebih lama. Dari caraku mengirimkan pesan ‘hati-hati’ setiap kamu pulang malam. Dari caraku selalu memulai topik agar malam kita tak cepat usai. Dan dari caraku diam-diam menangis saat kamu mulai menyebut nama lain dalam obrolan kita: Shifa.

Shifa.
Adik kelas yang kini mulai sering kamu sebut. Kamu bilang dia pintar. Lincah. Penuh semangat. Dia mengingatkanmu pada versi kecilku yang dulu—waktu kita pertama kali dekat di organisasi.

“Dia mirip kamu, Ris. Dulu kamu juga segitu aktifnya. Sekarang… kamu agak kalem ya,” ujarmu suatu malam.

Aku tersenyum saat itu, tapi dadaku nyeri. Aku kalem, Don. Karena aku sedang mencoba berdamai dengan rasa yang tak kunjung kamu tangkap.

Kamu, dengan semua kebaikan dan kelembutanmu, terlalu menjaga jarak. Kamu baik bukan hanya padaku, tapi ke semua orang. Tapi dengan Shifa… kamu mulai berbeda. Kamu lebih perhatian. Lebih terbuka. Lebih… terlihat tertarik.

Dan aku?

Aku mulai menyadari bahwa mungkin, aku sedang kalah. Dalam perang rasa yang bahkan tak pernah kamu tahu sedang kuperjuangkan sendirian.

Rifki, teman sekelasmu, pernah bertanya padaku saat kita bertiga sedang mengatur kegiatan OSIS.

“Kamu suka Doni ya?”

Aku tercekat. Tapi kamu malah tertawa, dan menimpali, “Ah, Risa mah sahabat gue. Udah kayak Saudara sendiri.”

Kata-kata itu... menghancurkan seluruh harapanku malam itu. Dan kamu tak pernah sadar.

Dira bilang aku terlalu lembut. Terlalu rumit. Terlalu takut ditolak. Dan aku tahu dia benar. Tapi bagaimana bisa aku menyatakan cinta pada seseorang yang menganggap kedekatan kami hanya sebagai bukti bahwa laki-laki dan perempuan bisa bersahabat tanpa baper?

Ironisnya, aku tahu kamu menyukaiku duluan. Aku melihatnya dari caramu memperhatikanku di awal-awal. Tapi entah kenapa, kamu menjauh justru saat semuanya terasa paling hangat.

Akhir sekolah semakin dekat. Kelulusan sebentar lagi. Tapi tak ada perpisahan resmi. Pandemi membuat semuanya dibatalkan. Kita hanya berpisah lewat layar. Tak ada pelukan. Tak ada tangisan. Hanya kata “selamat” di grup WhatsApp yang terlalu dingin untuk rasa yang seharusnya hangat.

Dan aku?

Aku menyimpan semua isyarat yang tak pernah kamu tangkap.

Aku menyimpan semua kenangan yang tak pernah kamu tahu adalah bentuk cinta.

Dan aku terus berjalan... dengan hati yang masih menunggumu menoleh ke belakang.

“Isyarat yang Terlewat – Bagian 2”

🌙 Segera Hadir...


Previous
Next Post »
Thanks for your comment